Entri Populer

Minggu, 14 Desember 2008

IsTri CeReweT

Seorang laki-laki berjalan menuju kediaman Umar Bin Khatab. Maksud hati ingin melaporkan kecerewetan istrinya. Namun, sesampainya di sana, tertegunlah ia, ketika melihat dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang mengomel, cerewetnya melebihi istri yang akan di adukannya. Tapi tak terdengar sepatah kata pun keluhan dari Khalifah. Umar diam saja mendengar istrinya yang sedang gundah.
Sang laki-laki bertanya, mengapa khalifah yang di segani itu, diam saja mendengar istrinya marah?
Umar bin Khatab menjawab, Istrimu memiliki perang besar atas dirimu. Ia adalah penjagamu dari api neraka. Kelemahan laki- laki ada di mata. Jika ia tak bias menundukkan pandangannya, maka panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya. Panah yang tertancap membuat darah berdesir, bergolak membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang raksasa mampu melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat.
Sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih menuai buah di kemudian hari. Adalah istri tempat ia mengalirkan berjuta gelora biar lepas, dan bukan azab yang kelak di terimanya. Justru akan mendapatkan dua kenikmatan : dunia dan akhirat.
Umar melanjutkan, istrimu juga pemelihara rumah dari pagi hingga sore saat suami bekerja. Suami selalu mengumpulkan harta dan tidak begitu peduli dengan apa yang di kumpulkannya. Mendapat uang, beli ini, beli itu. Untunglah,ada istri yang selalu menjaga dan memelihara 24 jam tanpa bayaran, agar apa yang di dapat dari keringat, air mata bahkan darah tidak menguap sia-sia. Pastilah sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten daripada istri. Istri pula yang menjaga penampilan suami. Sambung Umar bin Khatab. Untunglah suami punya piƱata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaiannya, memilihkan apa yang pantas untuknya , menjahitkan sendiri di waktu luang dan menisik bila ada yang sobek. Suami yang menawan adalah wujud ketlatenan sang istri. “ maka tak mengapa mendengarnya berkelu kesah atas kecakapannya itu.
Istri adalah pengasuh anak. Suami menyemai banih di lading istri,. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih, hingga lahir tunas yang menggembirakan. Ia, juga merawat agar tunas tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan, pasti suami yang lebih dulu maju ke depan mengaku, akulah yang membuat begitu. Baik buruknya sang tunas ke depan, tak lepas dari sentuhan tangan sang Istri. Umar paham benar akan hal itu.
Terakhir, sang istrilah si penyedia hidangan. Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Ia butuh asupan gizi untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami anya tahu ada hidangan. Tak terpikir olehnya harga ayam yang melambung, hingga sang istri harus piawai berdebat, menawar harga yang melebihi anggaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan memilah cabai,bawang sehingga ia tak perlu pusing memikirkan berapa takaran bumbu agar citarasa amat pas di lidah.
Yang suami tahu hanya makan. Itupun dalam jumlah yang berlebihan, menyisakan sedikit untuk istri si juru masak. Istri mencatat memori, makanan apa yang di sika dan di benci suami.
Maka untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa Umar mendengarkan segala keluh kesah buah lelahnya. Umar hanya mengingat kebaikan- kebaikan istrinya untuk menutupi cela dan kekurangannya.
Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehatidengan cara yang baik dan bercanda. Hingga terhindar dari pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.
Demi mendengar sikap umar tehadap istrinya yang mengomel, ia pulang dengan penuh rasa malu atas sikapnya yang jauh dari bijak.
Dikutip : Majalah Paras, Edisi November.

Tidak ada komentar: